Hari itu selepas subuh, aku terbangun karena suara gaduh di kamarku. Aku lihat ibu menangis dan bapak terlihat begitu serius mengobrol dengan seorang bapak yang lain. Bapak memegang bungkusan kain putih yang kemudian dikuburkan di lantai kamar. Jika aku tak salah ingat, usiaku sekitar 8 tahun waktu itu. Merasa bingung dan penasaran, kuberanikan diri bertanya pada bapak, ada apa sebenarnya. Bapak bilang adikku baru saja lahir, tapi tak bisa diselamatkan. "Itu tadi yang dibungkus kain putih adalah adikmu" begitu kata bapak. Nalarku masih belum sampai. Aku tak pernah tau kalau ibu sedang hamil.
Setelah aku lebih besar, rasa penasaran tentang adik bayi bernama Adji muncul kembali. Aku mendapat penjelasan dari bapak dan ibu. Saat itu ibu sedang hamil muda, mungkin sekitar tiga bulanan, tapi ibu terkena penyakit cacar dan demam tinggi. Hal itu menyebabkan ibu mengalami keguguran. Lalu kenapa bapak bisa memberi nama Adji? Bukankah adek bayi belum terbentuk dengan sempurna dan belum jelas jenis kelaminnya. Bapak menjelaskan lagi kalau dia merasa bayi itu adalah bayi laki-laki, jadi bapak memberinya nama Santosa Adji Pangestu.
Aku tak pernah bertemu Adji, aku hanya mengenalnya dari cerita bapak dan ibu. Namun entah kenapa, selalu ada rasa rindu setiap kali aku mengingatnya dan menceritakan tentang dia. Sebelum Adel dan Bayu lahir, aku seringkali memanggil Adji untuk sekedar menemaniku memandang bintang. Mungkin itu alasannya aku merasa dekat dengannya. Sekarang, setiap aku lihat satu bintang kecil yang tepat berada di sisi bulan, aku selalu ingat tentang dia. 💙
Ditulis oleh Nevri Chandrani Nooringhati
29 Januari 2022